30 Januari 2010

Sejarah Datu Sanggul

Menurut riwayat, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pernah bertemu dengan Datu Sanggul sewaktu masih menuntut ilmu di Mekkah. Dalam beberapa kali pertemuan tersebut, keduanya kemudian sharing dan diskusi masalah ilmu ketuhanan. Hasil dari diskusi mereka tersebut kemudian ditulis dalam sebuah kitab yang oleh orang Banjar dinamakan kitab Barencong. Siapakah Datu Sanggul?

Berdasarkan tutur lisan yang berkembang dalam masyarakat dan beberapa catatan dari beberapa orang penulis buku, sepengetahuan penulis setidaknya ada tiga versi yang menjelaskan tentang sosok dan kiprah Datu Sanggul.

Versi Pertama menyatakan bahwa Datu Sanggul adalah putra asli Banjar. Kehadirannya menjadi penting dan lebih dikenal sejarah lewat lisan dan berita Syekh Muhammad. Arsyad yang bertemu dengannya ketika beliau masih belajar di Mekkah. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Datu Sanggul pernah berbagi ilmu dengan Syekh Muhammad Arsyad dan melahirkan satu kitab yang disebut dengan kitab Barencong yang isinya menguraikan tentang ilmu tasawuf atau rahasia-rahasia ketuhanan dan sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan serta diragukan keberadaannya, karena tidak pernah ditemukan naskahnya. Namun walaupun demikian pengertian dari kitab Barencong itu sendiri dapat kita tinjau dan pahami dari dua sisi, yakni pemahaman secara tersurat dan secara tersirat. Secara tersurat boleh jadi kitab tersebut memang ada, berbentuk seperti umumnya sebuah buku dan ditulis bersama sebagai suatu konsensus keilmuan oleh Syekh Muhammad Arsyad dan Datu Sanggul (hal ini menggambarkan adanya pengakuan dari Syekh Muhammad Arsyad akan ketinggian ilmu tasawuf Datu Sanggul).

Kemudian secara tersirat dapat pula dipahami bahwa maksud kitab Barencong tersebut adalah simbol dari pemahaman ketuhanan Syekh Muhammad Arsyad yang mendasarkan tasawufnya dari langit turun ke bumi dan simbol pemahamanan tasawuf Datu Sanggul dari bumi naik ke langit. Maksudnya kalau Syekh Muhammad Arsyad belajar ilmu ketuhanan dan tasawuf berdasarkan ayat-ayat Alquran yang telah diwahyukan kepada Nabi Saw dan tergambar dalam Shirah hidup beliau, sahabat dan orang-orang sholeh sedangkan Datu Sanggul mengenal hakikat Tuhan berdasarkan apa-apa yang telah diciptakan-Nya (alam), sehingga dari pemahaman terhadap alam itulah menyampaikannya kepada kebenaran sejati yakni Allah, karena memang pada alam dan bahkan pada diri manusia terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi mereka yang mentafakurinya. Dengan kata lain ilmu tasawuf Datu Sanggul adalah ilmu laduni yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Karena itulah orang yang ingin mempelajari ilmu tasawuf pada dasarnya harus menggabungkan dua sumber acuan pokok, yakni berdasarkan wahyu (qauliyah) dan berdasarkan ayat-ayatNya "tanda-tanda" (qauniyah) yang terpampang jelas pada alam atau makhluk ciptaanNya.

Versi Kedua, menurut Zafri Zamzam (1974) Datu Sanggul yang dikenal pula sebagai Datu Muning adalah ulama yang aktif berdakwah di daerah bagian selatan Banjarmasin (Rantau dan sekitarnya), ia giat mengusahakan/memberi tiang-tiang kayu besi bagi orang-orang yang mendirikan masjid, sehingga pokok kayu ulin besar bekas tebangan Datu Sanggul di Kampung Pungguh (Kabupaten Barito Utara) dan pancangan tiang ulin di pedalaman Kampung Dayak Batung (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) serta makam beliau yang panjang di Kampung Tatakan (Kabupaten Tapin) masih dikenal hingga sekarang. Salah satu karya spektakulernya yang masih dikenang hingga kini adalah membuat tatalan atau tatakan kayu menjadi soko guru masjid desa Tatakan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga ketika membuat soko guru dari tatalan kayu untuk masjid Demak. Tidak ada yang tahu siapa nama asli tokoh ini, sebutan Datu Sanggul adalah nama yang diberikan oleh Syekh Muhammad Arsyad ketika beliau menjawab tidak memakai ilmu atau bacaan tertentu, kecuali "hanya menjaga keluar masuknya nafas, kapan ia masuk dan kapan ia keluar", sehingga dapat secara rutin pulang pergi sholat ke Masjidil Haram setiap hari Jumat.

Versi ketiga, berdasarkan buku yang disusun oleh H.M. Marwan (2000) menjelaskan bahwa nama asli Datu Sanggul adalah Syekh Abdus Samad, ia berasal dari Aceh (versi lain menyebutkan dari Hadramaut dan dari Palembang). Sebelumnya Datu Sanggul sudah menuntut ilmu di Banten dan di Palembang, ia menjadi murid ketiga dari Datu Suban yang merupakan mahaguru para datu yang ahli agama dan mendalami ilmu Tasawuf asal Pantai Jati Munggu Karikil, Muning Tatakan Rantau. Informasi lain yang berkembang juga ada yang menyatakan bahwa nama asli Datu Sanggul adalah Ahmad Sirajul Huda atau Syekh Jalil. Datu Sanggul atau Syekh Abdus Samad satu-satunya murid yang dipercaya oleh Datu Suban untuk menerima kitab yang terkenal dengan sebutan kitab Barincong, beliau juga dianggap memiliki ilmu kewalian, sehingga teristimewa di antara ketigabelas orang murid Datu Suban.

Datu Sanggul lebih muda wafat, yakni di tahun pertama kedatangan Syekh Muhammad Arsyad di Tanah Banjar. Berkat keterangan Syekh Muhammad Arsyad-lah identitas kealiman dan ketinggian ilmu Datu Sanggul terkuak serta diketahui oleh masyarakat luas, sehingga mereka yang asalnya menganggap "Sang Datu" sebagai orang yang tidak pernah shalat Jumat sehingga tidak layak untuk dimandikan, pada akhirnya berbalik menjadi hormat setelah diberitakan oleh Syekh Muhammad Arsyad sosok Datu Sanggul yang sebenarnya.

Banyak cerita yang lisan yang beredar di masyarakat berkenaan dengan keramat Datu Sanggul. Diceritakan bahwa Kampung Tatakan pernah dilanda Banjir, akibat hujan lebat, sehingga jalan-jalan di Kampung tergenang oleh air. Pas ketika hari Jumat, biasanya orang kalau mengambil air wudhu di sungai yang mengalir, dengan duduk di batang. Tetapi ketika Datu Sanggul datang dan berwudhu dalam penglihatan orang-orang di masjid beliau menceburkan diri ke sungai, tetapi anehnya ketika naik, badan beliau tidak basah.

Jamaah Masjid juga pernah menyaksikan ketika shalat, dalam beberapa menit tubuh Datu Sanggul melayang di udara dan hilang dari pandangan orang banyak. Riwayat juga ada menceritakan tentang berpindah-pindahnya kuburan dari Datu Sanggul dari beberapa tempat, sampai yang terakhir di Tatakan.

Berdasarkan paparan di atas menjadi satu catatan penting, untuk menggagas kembali penelitian sejarah yang mengungkapkan riwayat hidup tokoh sentral masyarakat Tapin ini secara detail, guna melengkapi dan memperkaya khazanah tulisan-tulisan yang sudah ada mengenai riwayat hidup, sejarah perjuangan dan kiprah beliau di Bumi Kalimantan, seperti "Riwayat Datu Sanggul dan Datu-Datu" oleh sejarawan Banjar Drs. H. A. Gazali Usman, atau pula "Manakib Datu Sanggul", oleh H.M. Marwan. Tenut saja, agar generasi yang hidup di masa sekarang dan masa mendatang tidak pangling terhadap sejarah dan tokoh yang menjadi "maskot" daerah mereka. Dalam artian bukan maksud untuk mengagung-agungkan apalagi mengkultuskan mereka, tetapi untuk mengikuti jejak hidup, perjuangan dan akhlak postif sesuai prinsip ajaran agama yang telah ditorehkannya. Wallahua'lam.

Sejarah Nama Desa Ulin

Dahulu kala, disebuah pohon Ulin yang sangat besar ini hidup seekor burung Garuda yang setiap waktu kerjaannya memakan anak bayi yang masih di dalam ayunan. Karena semakin lama semakin meresahkan, para penduduk kampung bersepakat untuk memikirkan cara bagaimana menyingkirkan burung Garuda tersebut. Pohon Ulin itu mempunyai diameter kira-kira sama besarnya dengan rumah tipe 36. (Gambar bangunan di atas mencerminkan besarnya ukuran pohon kayu ulin tersebut.)

Berbagai macam peralatan dicobakan untuk menebang pohon ulin tersebut tetapi tidak satupun yang mampu menggores batang kayunya. Akhirnya ada seorang tetuha kampung setempat mencoba menumbangkan pohon tersebut dengan sebilah pisau. Dikorek perlahan-lahan akar pohon ulin tersebut dengan hanya menggunakan sebilah pisau kecil tidak disangka-sangka pohon Ulin raksasa inipun roboh bersama burung Garuda di atasnya. Konon, saking tinggi dan besarnya pohon Ulin ini pucuknya sampai roboh ke daerah Marabahan, Barito Kuala (+/- 50 km dari Banjarmasin, +/- 200 km dari Kandangan), sehingga nama daerah itu disebut Marabahan yang berarti tempat rabah (roboh) pohon Ulin tadi.

Setelah keadaan aman, bekas tumbuh pohon Ulin tadi dibuat sebuah balai (ada gambarnya). Di balai inilah sejak dulu diadakan berbagai macam selamatan dan acara adat setiap tahunnya. Menurut informasi pada malam ahad ini tanggal 20 Oktober 2007 akan diadakan upacara Manaradak di balai tersebut, sebagai tanda awal menanam padi.

Di kampung ini juga ada dua buah tempat yang diyakini penduduk memiliki kesaktian, yaitu Batu Beranak. Tempat batu beranak ini asalnya tidak ada apa-apa, tiba-tiba bermunculan batu-batu memenuhi tempat tersebut sehingga oleh penduduk setempat diberi gelar Batu Beranak. Konon, ukuran batu yang ada disini bisa tumbuh berkembang sampai akhirnya melahirkan batu kecil di sekelilingnya, begitu seterusnya seperti siklus hidup manusia.

Pernah ada yang iseng-iseng mencoba mengukur batu tersebut, setiap hari Jumat batu yang sama diukur dan menurut keterangan para saksi batu yang diukur tersebut memang terus bertambah ukurannya. Pernah juga ada orang yang mengambil untuk dibawa pulang ternyata beberapa hari kemudian batunya hilang setelah diperiksa batu yang sama kembali ke tempatnya semula.

Demikian sekilas oleh-oleh cerita dari kampung dan memperkenalkan tempat yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat berkeramat sebagai bagian dari kekayaan budaya Banjar.

27 Januari 2010